Memories in Makassar
Ilmu Kehamilan
Informasi seputar ibu hamil
Kamis, 06 Oktober 2011
Rabu, 05 Oktober 2011
Teknik Kesuburan dengan Kedelai Lebih Ampuh dari Bayi Tabung
Tidak semua orang berhasil hamil dengan menggunakan teknik bayi tabung.
Kini peneliti menemukan teknik kesuburan berbahan dasar kedelai yang
bisa meningkatkan kemungkinan hamil hingga 6 kali lipat.
Percobaan perawatan kesuburan yang berbahan dasar kedelai ini bisa meningkatkan kemungkinan hamil hingga 6 kali lipat, serta menghambat senyawa kimia yang bisa menyebabkan keguguran.
Berdasarkan studi ini didapatkan ketika seorang perempuan tidak berhasil hamil dengan menggunakan teknik bayi tabung atau IVF (in vitro fertilization), maka sekitar setengahnya berhasil hamil dengan menggunakan teknik berbahan dasar kedelai.
Setiap hari selalu ada perempuan-perempuan yang telah berkali-kali melakukan IVF dengan hasil negatif dan tidak ada bayi, serta pasangan yang mengalami keguguran berulang. Proses kegagalan dan keguguran ini tidak hanya merugikan faktor finansial, tapi juga berpengaruh terhadap emosional seseorang.
"Saya percaya bahwa satu dari empat perempuan yang berjuang untuk hamil memiliki sistem kekebalan tubuh yang rusak. Tingkat ekstra sel darah putih yang tinggi bisa memicu produksi bahan kimia yang dapat menyerang plasenta atau embrio," ujar Dr George Ndukwe dari Care fertility clinic di Nottingham, seperti dikutip dari Dailymail, Selasa (4/1/2011).
Studi ini melibatkan 100 perempuan yang mengalami kegagalan IVF berulang akibat embrio yang tidak tertanam di dalam rahim. Sekitar 50 perempuan diberikan cairan infus Intralipid, yaitu suatu cairan yang berisi zat dasar dari minyak kedelai. Sedangkan sisanya tidak diberikan cairan tersebut.
Intralipid biasanya digunakan untuk konsumsi makanan bagi pasien yang tidak bisa makan, mengalami cedera parah atau pembedahan yang membuatnya tidak bisa makan secara normal. Cairan ini diberikan melalui tabung dan masuk ke dalam pembuluh darah.
Diketahui sekitar 50 persen perempuan yang menerima cairan intralipid berhasil hamil, sedangkan kelompok yang tidak diberikan intralipid kurang dari 9 persen yang hamil. Karenanya para dokter percaya bahwa cairan intralipid bisa membantu lebih banyak perempuan dalam mewujudkan impiannya untuk memiliki anak.
Dr Ndukwe menuturkan Infus Intralipid ini memiliki harga yang lebih murah, ditoleransi dengan baik, mudah dilakukan dan lebih efektif dalam menghentikan produksi bahan kimia berbahaya. Studi terbaru ini akan dipresentasikan dalam konferensi British Fertility Society pada 6 Januari 2011.
Percobaan perawatan kesuburan yang berbahan dasar kedelai ini bisa meningkatkan kemungkinan hamil hingga 6 kali lipat, serta menghambat senyawa kimia yang bisa menyebabkan keguguran.
Berdasarkan studi ini didapatkan ketika seorang perempuan tidak berhasil hamil dengan menggunakan teknik bayi tabung atau IVF (in vitro fertilization), maka sekitar setengahnya berhasil hamil dengan menggunakan teknik berbahan dasar kedelai.
Setiap hari selalu ada perempuan-perempuan yang telah berkali-kali melakukan IVF dengan hasil negatif dan tidak ada bayi, serta pasangan yang mengalami keguguran berulang. Proses kegagalan dan keguguran ini tidak hanya merugikan faktor finansial, tapi juga berpengaruh terhadap emosional seseorang.
"Saya percaya bahwa satu dari empat perempuan yang berjuang untuk hamil memiliki sistem kekebalan tubuh yang rusak. Tingkat ekstra sel darah putih yang tinggi bisa memicu produksi bahan kimia yang dapat menyerang plasenta atau embrio," ujar Dr George Ndukwe dari Care fertility clinic di Nottingham, seperti dikutip dari Dailymail, Selasa (4/1/2011).
Studi ini melibatkan 100 perempuan yang mengalami kegagalan IVF berulang akibat embrio yang tidak tertanam di dalam rahim. Sekitar 50 perempuan diberikan cairan infus Intralipid, yaitu suatu cairan yang berisi zat dasar dari minyak kedelai. Sedangkan sisanya tidak diberikan cairan tersebut.
Intralipid biasanya digunakan untuk konsumsi makanan bagi pasien yang tidak bisa makan, mengalami cedera parah atau pembedahan yang membuatnya tidak bisa makan secara normal. Cairan ini diberikan melalui tabung dan masuk ke dalam pembuluh darah.
Diketahui sekitar 50 persen perempuan yang menerima cairan intralipid berhasil hamil, sedangkan kelompok yang tidak diberikan intralipid kurang dari 9 persen yang hamil. Karenanya para dokter percaya bahwa cairan intralipid bisa membantu lebih banyak perempuan dalam mewujudkan impiannya untuk memiliki anak.
Dr Ndukwe menuturkan Infus Intralipid ini memiliki harga yang lebih murah, ditoleransi dengan baik, mudah dilakukan dan lebih efektif dalam menghentikan produksi bahan kimia berbahaya. Studi terbaru ini akan dipresentasikan dalam konferensi British Fertility Society pada 6 Januari 2011.
Kesuksesan Bayi Tabung Bisa Diprediksi dengan Tes Hormon
Teknologi bayi tabung telah berhasil mengatasi berbagai hal yang
menghalangi pasangan untuk punya anak, namun tetap ada kondisi tertentu
yang bisa menggagalkannya. Sukses tidaknya bayi tabung kini bisa
diprediksi dengan tes hormon.
Salah satu penghalang kesuksesan bayi tabung adalah usia produktif seorang perempuan, sebab pada usia tertentu rahimnya tidak lagi memungkinkan untuk pertumbuhan janin. Meski sel telur bisa dibuahi di luar kandungan, embrio itu tidak akan tumbuh ketika dikembalikan ke rahim.
Prof Scott Nelson dari Glasgow University mengatakan, usia produktif perempuan untuk bisa hamil dengan sukses melalui program bayi tabung bisa diprediksi dengan tes hormon. Hormon yang dipakai adalah hormon Anti Mullerian (AM) yang berkurang ketika rahim tidak mampu lagi ditumbuhi janin.
Survei yang dilakukannya terhadap 3.200 perempuan sehat di Skotlandia menunjukkan, beberapa perempuan mengalami penurunan kadar hormon AM lebih cepat dibanding perempuan lain yang seusia. Berapapun usianya, perempuan yang mengalami penurunan hormon AM cenderung sulit hamil lewat hubungan seks.
Hal yang sama juga berlaku untuk kehamilan melalui program bayi tabung, yakni proses mengawinkan sperma dengan sel telur di laboratorium. Jika kadar hormon AM berkurang, seorang perempuan cederung sulit menumbuhkkan embrio yang ditanam ke dalam rahimnya.
Menurut Prof Nelson, hormon AM menggambarkan aktivitas indung telur wanita seumur hidupnya dan memberikan perkiraan pasokan sel telur yang tersisa. Artinya saat kadar hormon AM menurun, sebenarnya masih ada peluang untuk hamil namun belum tentu janinnya bisa tumbuh.
Hanya saja karena belum ada data statistik yang cukup kuat, tes hormon AM untuk mengetahui peluang kesuksesan bayi tabung belum bisa diterapkan secara luas. Masih butuh penelitian lebih lanjut, namun setidaknya hasil penelitian ini memberi harapan bagi terciptanya metode tes tersebut.
"Kami sekarang dapat menafsirkan hormon Anti Mullerian dengan yakin, dan itu adalah langkah besar dalam memastikan potensi masa reproduksi pasien," ungkap Prof Nelson seperti dikutip dari WebMD, Jumat (12/8/2011).
Salah satu penghalang kesuksesan bayi tabung adalah usia produktif seorang perempuan, sebab pada usia tertentu rahimnya tidak lagi memungkinkan untuk pertumbuhan janin. Meski sel telur bisa dibuahi di luar kandungan, embrio itu tidak akan tumbuh ketika dikembalikan ke rahim.
Prof Scott Nelson dari Glasgow University mengatakan, usia produktif perempuan untuk bisa hamil dengan sukses melalui program bayi tabung bisa diprediksi dengan tes hormon. Hormon yang dipakai adalah hormon Anti Mullerian (AM) yang berkurang ketika rahim tidak mampu lagi ditumbuhi janin.
Survei yang dilakukannya terhadap 3.200 perempuan sehat di Skotlandia menunjukkan, beberapa perempuan mengalami penurunan kadar hormon AM lebih cepat dibanding perempuan lain yang seusia. Berapapun usianya, perempuan yang mengalami penurunan hormon AM cenderung sulit hamil lewat hubungan seks.
Hal yang sama juga berlaku untuk kehamilan melalui program bayi tabung, yakni proses mengawinkan sperma dengan sel telur di laboratorium. Jika kadar hormon AM berkurang, seorang perempuan cederung sulit menumbuhkkan embrio yang ditanam ke dalam rahimnya.
Menurut Prof Nelson, hormon AM menggambarkan aktivitas indung telur wanita seumur hidupnya dan memberikan perkiraan pasokan sel telur yang tersisa. Artinya saat kadar hormon AM menurun, sebenarnya masih ada peluang untuk hamil namun belum tentu janinnya bisa tumbuh.
Hanya saja karena belum ada data statistik yang cukup kuat, tes hormon AM untuk mengetahui peluang kesuksesan bayi tabung belum bisa diterapkan secara luas. Masih butuh penelitian lebih lanjut, namun setidaknya hasil penelitian ini memberi harapan bagi terciptanya metode tes tersebut.
"Kami sekarang dapat menafsirkan hormon Anti Mullerian dengan yakin, dan itu adalah langkah besar dalam memastikan potensi masa reproduksi pasien," ungkap Prof Nelson seperti dikutip dari WebMD, Jumat (12/8/2011).
Terlalu Khawatir Pada Bayi Bisa Memicu Gangguan Obsesif
Setiap ibu yang baru melahirkan pasti merasa cemas karena takut tidak
bisa merawat bayinya dengan baik. Tapi sebaiknya jangan berlebihan,
karena terlalu cemas dan khawatir bisa memicu terjadinya gangguan
obsesif.
Kekhawatiran yang berlebihan bisa berkembang menjadi obsesi yang salah. Para ahli menyebut kondisi ini dengan postpartum obsessive compulsive disorder (postpartum OCD). Hal ini bisa mendorong perempuan mengambil langkah ekstrem untuk mencegah ketakutannya menjadi nyata.
Salah satu contohnya adalah tidak berhenti mencuci baju bayi karena ingin mencegah kuman agar si bayi tidak sakit, atau menolak menggendong bayinya karena takut membuatnya terjatuh.
"Sangat normal bagi orangtua untuk mencoba melindungi dan menjaga anak-anaknya agar tetap aman. Tapi apa yang terjadi pada ibu dengan OCD adalah kewaspadaan dan kekhawatiran yang terlalu tinggi," ujar Kiara Timpano dari University of Miami di Florida, seperti dikutip dari HealthDay, Jumat (9/9/2011).
Timpano menuturkan kondisi ini juga membuat ibu tertekan oleh pikirannya sendiri dan mencoba mengendalikannya melalui perilaku ritualistik atau berulang. Gejala yang timbul bisa mengganggu kehidupannya dan berbahaya bagi ibu dan anaknya.
Hingga saat ini tidak diketahui apa pemicunya, tapi perempuan yang pernah mengalami gangguan kecemasan atau OCD sebelum melahirkan lebih rentan mengalami postpartum OCD. Hal ini karena memiliki bayi adalah transisi kehidupan yang sangat besar dan disertai dengan perubahan fisiologis dan hormon yang bisa berkontribusi.
Meski begitu beberapa orang ada yang keliru antara postpartum OCD dengan psikosis postpartum (bentuk parah dari depresi yang mana ibu mengalami delusi). Perbedaan yang paling jelas terlihat adalah pada ibu dengan psikosis postpartum ada risiko ia menyakiti bayinya sedangkan ibu dengan postpartum OCD berisiko kecil menyakiti bayinya.
OCD umumnya sulit diobati, tapi terapi perilaku kognitif bisa membantu mengajarkan cara-cara mengatasi dan mengubah pikiran yang mengkhawatirkan. Sednagkan bagi ibu yang mengalami depresi dan postpartum OCD maka penggunaan antidepresan bisa mengurani gejala.
Kekhawatiran yang berlebihan bisa berkembang menjadi obsesi yang salah. Para ahli menyebut kondisi ini dengan postpartum obsessive compulsive disorder (postpartum OCD). Hal ini bisa mendorong perempuan mengambil langkah ekstrem untuk mencegah ketakutannya menjadi nyata.
Salah satu contohnya adalah tidak berhenti mencuci baju bayi karena ingin mencegah kuman agar si bayi tidak sakit, atau menolak menggendong bayinya karena takut membuatnya terjatuh.
"Sangat normal bagi orangtua untuk mencoba melindungi dan menjaga anak-anaknya agar tetap aman. Tapi apa yang terjadi pada ibu dengan OCD adalah kewaspadaan dan kekhawatiran yang terlalu tinggi," ujar Kiara Timpano dari University of Miami di Florida, seperti dikutip dari HealthDay, Jumat (9/9/2011).
Timpano menuturkan kondisi ini juga membuat ibu tertekan oleh pikirannya sendiri dan mencoba mengendalikannya melalui perilaku ritualistik atau berulang. Gejala yang timbul bisa mengganggu kehidupannya dan berbahaya bagi ibu dan anaknya.
Hingga saat ini tidak diketahui apa pemicunya, tapi perempuan yang pernah mengalami gangguan kecemasan atau OCD sebelum melahirkan lebih rentan mengalami postpartum OCD. Hal ini karena memiliki bayi adalah transisi kehidupan yang sangat besar dan disertai dengan perubahan fisiologis dan hormon yang bisa berkontribusi.
Meski begitu beberapa orang ada yang keliru antara postpartum OCD dengan psikosis postpartum (bentuk parah dari depresi yang mana ibu mengalami delusi). Perbedaan yang paling jelas terlihat adalah pada ibu dengan psikosis postpartum ada risiko ia menyakiti bayinya sedangkan ibu dengan postpartum OCD berisiko kecil menyakiti bayinya.
OCD umumnya sulit diobati, tapi terapi perilaku kognitif bisa membantu mengajarkan cara-cara mengatasi dan mengubah pikiran yang mengkhawatirkan. Sednagkan bagi ibu yang mengalami depresi dan postpartum OCD maka penggunaan antidepresan bisa mengurani gejala.
Sepertiga Remaja Percaya Seks Pertama Kali Tidak Bikin Hamil
Beberapa mitos seputar seks masih banyak beredar di masyarakat.
Diketahui sekitar 31,5 persen remaja di Indonesia masih percaya bahwa
hubungan seks yang pertama kali tidak menyebabkan hamil.
Survei yang dilakukan oleh PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pada tahun 2010 ini melibatkan 2.400 remaja berusia 10-24 tahun. Hasilnya sekitar 31,5 persen remaja percaya hubungan seks pertama kali tidak menyebabkan kehamilan dan sekitar 60 persen remaja percaya bahwa keperawanan bisa dilihat dari fisik.
"Banyaknya remaja yang masih percaya pada mitos merupakan salah satu masalah seksualitas di kalangan remaja," ujar Dr Sarsanto Wibisono, SpOG selaku ketua pengurus harian PKBI dalam acara press conference Hari Kontrasepsi Dunia 2011 di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (29/9/2011).
Dr Sarsanto menuturkan masalah seksualitas remaja lainnya adalah narkoba, karena kalau orang sudah kecanduan narkoba dan tidak memiliki uang maka ia akan melakukan apapun termasuk menjual dirinya. Jadi ada kecenderungan narkoba mengacu pada kehamilan yang tidak diinginkan.
"Kehamilan yang tidak diinginkan ini akan berujung pada kehilangan hak dasar pendidikan, karena biasanya perempuan yang hamil akan dikeluarkan dari sekolah," ungkapnya.
Beberapa orang yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan ini ada yang terus dilanjutkan, melakukan aborsi secara aman atau ada juga yang melakukan aborsi tidak aman seperti minum jamu-jamuan atau dipijat.
"Aborsi yang tidak aman ini menyumbang sekitar 15-30 persen dari jumlah kematian ibu," ujar Dr Sarsanto yang lahir di Purbalingga 64 tahun silam.
Dr Sarsanto menuturkan diperlukan program edukasi yang difokuskan pada remaja. Edukasi pada remaja ini diharapkan bisa membuat mereka lebih memahami dan mampu membuat keputusan secara bertanggung jawab serta mempraktekkan kesehatan reproduksi dan seksual dengan tetap memperhatikan hak-hak kesehatan reproduksinya.
Untuk itu pengetahuan mengenai keluarga berencana (KB) yang meliputi pemberian informasi dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar harus diberikan sejak dini, sehingga para remaja ini tidak lagi memprcayai mitos-mitos yang ada.
Mitos-mitos lain yang masih beredar di masyarakat antara lain:
1. Seseorang tidak akan hamil jika melakukan senggama terputus atau mengeluarkan penis sebelum mencapai orgasme.
2. Seseorang tidak akan hamil jika melakukan hubungan seks dalam posisi berdiri.
3. Seseorang tidak akan hamil jika ia segera mandi setelah berhubungan seks.
Survei yang dilakukan oleh PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pada tahun 2010 ini melibatkan 2.400 remaja berusia 10-24 tahun. Hasilnya sekitar 31,5 persen remaja percaya hubungan seks pertama kali tidak menyebabkan kehamilan dan sekitar 60 persen remaja percaya bahwa keperawanan bisa dilihat dari fisik.
"Banyaknya remaja yang masih percaya pada mitos merupakan salah satu masalah seksualitas di kalangan remaja," ujar Dr Sarsanto Wibisono, SpOG selaku ketua pengurus harian PKBI dalam acara press conference Hari Kontrasepsi Dunia 2011 di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (29/9/2011).
Dr Sarsanto menuturkan masalah seksualitas remaja lainnya adalah narkoba, karena kalau orang sudah kecanduan narkoba dan tidak memiliki uang maka ia akan melakukan apapun termasuk menjual dirinya. Jadi ada kecenderungan narkoba mengacu pada kehamilan yang tidak diinginkan.
"Kehamilan yang tidak diinginkan ini akan berujung pada kehilangan hak dasar pendidikan, karena biasanya perempuan yang hamil akan dikeluarkan dari sekolah," ungkapnya.
Beberapa orang yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan ini ada yang terus dilanjutkan, melakukan aborsi secara aman atau ada juga yang melakukan aborsi tidak aman seperti minum jamu-jamuan atau dipijat.
"Aborsi yang tidak aman ini menyumbang sekitar 15-30 persen dari jumlah kematian ibu," ujar Dr Sarsanto yang lahir di Purbalingga 64 tahun silam.
Dr Sarsanto menuturkan diperlukan program edukasi yang difokuskan pada remaja. Edukasi pada remaja ini diharapkan bisa membuat mereka lebih memahami dan mampu membuat keputusan secara bertanggung jawab serta mempraktekkan kesehatan reproduksi dan seksual dengan tetap memperhatikan hak-hak kesehatan reproduksinya.
Untuk itu pengetahuan mengenai keluarga berencana (KB) yang meliputi pemberian informasi dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar harus diberikan sejak dini, sehingga para remaja ini tidak lagi memprcayai mitos-mitos yang ada.
Mitos-mitos lain yang masih beredar di masyarakat antara lain:
1. Seseorang tidak akan hamil jika melakukan senggama terputus atau mengeluarkan penis sebelum mencapai orgasme.
2. Seseorang tidak akan hamil jika melakukan hubungan seks dalam posisi berdiri.
3. Seseorang tidak akan hamil jika ia segera mandi setelah berhubungan seks.
Langganan:
Postingan (Atom)