Teknologi bayi tabung telah berhasil mengatasi berbagai hal yang
menghalangi pasangan untuk punya anak, namun tetap ada kondisi tertentu
yang bisa menggagalkannya. Sukses tidaknya bayi tabung kini bisa
diprediksi dengan tes hormon.
Salah satu penghalang kesuksesan
bayi tabung adalah usia produktif seorang perempuan, sebab pada usia
tertentu rahimnya tidak lagi memungkinkan untuk pertumbuhan janin. Meski
sel telur bisa dibuahi di luar kandungan, embrio itu tidak akan tumbuh
ketika dikembalikan ke rahim.
Prof Scott Nelson dari Glasgow University
mengatakan, usia produktif perempuan untuk bisa hamil dengan sukses
melalui program bayi tabung bisa diprediksi dengan tes hormon. Hormon
yang dipakai adalah hormon Anti Mullerian (AM) yang berkurang ketika
rahim tidak mampu lagi ditumbuhi janin.
Survei yang dilakukannya
terhadap 3.200 perempuan sehat di Skotlandia menunjukkan, beberapa
perempuan mengalami penurunan kadar hormon AM lebih cepat dibanding
perempuan lain yang seusia. Berapapun usianya, perempuan yang mengalami
penurunan hormon AM cenderung sulit hamil lewat hubungan seks.
Hal
yang sama juga berlaku untuk kehamilan melalui program bayi tabung,
yakni proses mengawinkan sperma dengan sel telur di laboratorium. Jika
kadar hormon AM berkurang, seorang perempuan cederung sulit menumbuhkkan
embrio yang ditanam ke dalam rahimnya.
Menurut Prof Nelson,
hormon AM menggambarkan aktivitas indung telur wanita seumur hidupnya
dan memberikan perkiraan pasokan sel telur yang tersisa. Artinya saat
kadar hormon AM menurun, sebenarnya masih ada peluang untuk hamil namun
belum tentu janinnya bisa tumbuh.
Hanya saja karena belum ada
data statistik yang cukup kuat, tes hormon AM untuk mengetahui peluang
kesuksesan bayi tabung belum bisa diterapkan secara luas. Masih butuh
penelitian lebih lanjut, namun setidaknya hasil penelitian ini memberi
harapan bagi terciptanya metode tes tersebut.
"Kami sekarang
dapat menafsirkan hormon Anti Mullerian dengan yakin, dan itu adalah
langkah besar dalam memastikan potensi masa reproduksi pasien," ungkap
Prof Nelson seperti dikutip dari WebMD, Jumat (12/8/2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar